Kamis, 31 Oktober 2013

Keteladanan : Sebuah ‘Tantangan’Mendidik Anak Kita

Oleh:
Robi'ah Al-Adawiyah,S.H
Ketua KPPA BENIH Solo


“Mbak, tema edisi bulan depan tentang...keteladanan” kata mbak Ifah yang telaten mengingatkan dan menagih naskah untuk majalah ini.Dan sayapun entah kenapa merasa tema kali ini begitu ‘berat’. Bagaimana tidak? Pengasuhan dan pendidikan anak sangat erat dengan keteladanan itu.Sementara, saya merasa sangat minim memberi teladan baik untuk lima anak kecil yang setiap hari menjadi spons yang menyerap segala ucap, tindak dan ekspresi saya. Yah, ala kulli hal... semoga tulisan ini menjadi sarana saling berbagi.

Benar mengapa Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau menjadi teladan sempurna bagi akhlak terpuji. Karena ternyta, memberikan contoh baik bagi sebuah generasi tidaklah mudah. Anak-anak kita yang tak hanya hidup dengan kita, tentulah bukan generasi sperti kita atau orangtua kita di zaman kecil yang –katanya- dahulu hanya dengan orangtua memberi isyarat ‘tidak suka’ anak sudah mengerti dan menghentikan perilaku kurang baiknya. Anak-anak kita hidup dizaman ‘dua bahasa’ yang kadang menimbulkan miris dan pesimis, hingga kita merasa diliputi rasa apatis terhadap anak-anak kita sendiri. Mungkin poin-poin tentang mengapa kita merasa sulit memberi teladan pada anak-anak kita perlu kita ulas sedikit, agar kita akhirnya dapat belajar menjadi teladan yang lebih baik disepanjang waktu yang diberikan Allah untuk mengasuh anak-anak kita

1. Yang Kita Lupakan: Menimba Teladan dari Teladan Terbaik
Ini yang akhirnya saya renungkan saat saya merasa ‘apa yang salah ya dengan cara saya mendidik anak-anak’? Ternyata mungkin kita (saya kali..hehe) masih sangat kurang menimba ilmu dari teladan terbaik : Rasulullah SAW dalam mendidik anak-anak dan sahabat beliau. Mungkin juga kita (sekali lagi: terutama saya )membaca banyak buku tentang metode Rasulullah akan tetapi kurang meyakini dan abai dalam mengamalkan. Kita lebih terpukau dengan idealisme dalam seminar-seminar atau buku-buku parenting yang gegap gepita. Kita mungkin banyak mengambil contoh dari para pakar parenting tapi kurang belajar tentang bagaimana Rasulullah memberi contoh. Maka, mari pertama kali, kita belajar dari teladan yang lurus itu dalam segala hal, dan mengamalkannya ,agar kita tidak kehabisan amunisi.

2. Yang kita remehkan : hal-hal kecil
Suatu hari, ada seorang ummahat berkunjung kerumah kami untuk ‘tilik bayi’ . Subhanallah, ummahat ini adalah salah satu ibu yang saya pandang selalu datang disaat yang tepat saat saya butuh nasihat. Banyak poin yang beliau nasehatkan.Salah satunya menyampaikan pada saya , kurang lebih redaksinya begini : “Dik Vida, kita kadang menyepelakan hal-hal kecil yang kita lakukan didepan anak. Lihat sandal itu, saat kita berjalan dan melihat sandal tidak pada tempatnya, kita meminggirkannya dengan kaki sembari kita berjalan, anak melihat tanpa kita sadari.Suatu saat saat kita melihat buku atau remote TV tergeletak dan kita menyuruh mereka membereskan, mereka menyingkirkannya dengan kaki...bukan mengambilnya dengan tangan” Ah....benar juga banyak sekali hal-hal kecil yang kita anggap ‘biasa’ tapi saat dilakukan oleh anak kita menegurnya sebagai kesalahan, padahal boleh jadi kita pernah melakukannya dan anak tidak menegur tapi langsung ditirunya. Astaghfirullah, semoga kita belajar mulai membiasakan hal-hal kecil yang baik.

3. Pesimis Terhadap Diri Sendiri dan Anak kita

Pesimis terhadap apa yang sudah kita usahakan dalam mengasuh anak kita, ternyta berpengaruh juga pada ketidakpercayaan kita terhadap anak.Bisa jadi kita tidak bisa memberi keteladanan bukan karena kita tidak menjadi contoh yang baik, tetapi kita tidak pernah optimis dan selalu merasa kurang baik.Akhirnya, kita pun tidak mempercayai anak-anak kita. Jika rasa pesimis dan –bahkan- bosan dalam mengupayakan keteladanan menyerang, biasanya suami saya akan menasehati “bukankah kita masih ingin mengasuh dan membersamai mereka selama mungkin? Maka, mari bersabar”. Ya..keteladanan memerlukan optimisme untuk mempercayai anak-anak kita bahwa mereka bisa melakukannya

4. Konsisten dan Telaten=Tantangan keteladanan
Salah satu hambatan menjadi teladan anak-anak adalah bersikap konsisten dalam aturan-aturan dan sikap, sekaligus telaten mengingatkan anak-anak dan memperbaiki diri sendiri. Kita sering melihat betapa aturan sering berubah di sekolah, dirumah , saat liburan dirumah saudara dan sebagainya.Anak-anak akan menguji apakah kita para orangtua dapat berikap konsisten terhadap sikap dan aturan. Sekali mereka melihat kita lalai, apalagi berulang-ulang kita inkonsisten, maka keteladanan akan menjadi sulit kita terapkan

5. Mencari Kambing hitam

Kelemahan lain dalam mengupayakan keteladanan adalah mencari kambinghitam dan melempar kesalahan pada pihak lain. Hal kecil yang sering kita abaikan misalnya, saat anak kita masih kecil belajar berjalan dan dia terbentur meja, maka kebanyakan orangtua ‘memukul’ meja sambil berkata “iih...mejanya nakal ya! Cup2...” lama kelamaan saat anak terjatuh atau keinginannya tidak terpenuhi dia memukul apa yang didkatnya sambil berkata “uuh nakaaal” jika sikap itu terbawa sampai besar maka jadilah anak-anak dengan teladan melempar kesalahan itu menjadi anak-anak yang sulit menerima kekalahan dan sulit mengakui kesalahan.

6. Doa-doa Kita = Mungkin kita sering lupa?
Masih dari sahabat saya yang berkunjung kerumah, beliau menasehati saya bahwa kita sering lupa bahwa Allah yang membolak balikkan hati anak-anak kita. Kita tidak boleh jumawa bahwa teori dan langkah-langkah mendidik kita akan selalu berhasil. Membulatkan sandaran kita kepada Allah, itu bahasa sahabat saya. Kita harus banyak mengistighfari diri sendiri, jangan-jangan a perilaku ‘sulit’ yang kita lihat dalam diri anak kita, ada ‘peran’ kita dalam menumbuhkannya atau membiasakannya. Subhanallah..ya, kita mungkin rutin membacakancerita sebelum tidur namun kadang lupa mendoakan khusus untuk anak-anak kita disaat-saat yang penting dan makbul. Mari kita belai lagi anak-anak kita dan mendoakan harapan kita pada Pemilik mereka, Allah SWT

Sepertinya masih panjang jalan kita mengasuh anak-anak kita dan itu berarti semakin panjang dan banyak pula hambatan dan tantangan kita mengupayakan keteladanan bagi anak-anak kita. Tugas kita para orangtua dan gurun untuk terus belajar memperbaiki sikap diri dan mendoakan anak-anak kita agar kelak lebih baik dari kita.Bismillah, salam optimis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar